Dalam setiap urusan pasti sering kita dihadapkan pada sebuah situasi untuk memilih, terkadang kita diberikan beberapa pilihan dan mungkin kita hanya bisa melihat satu pilihan. Ketika kita mendapatkan beberapa pilihan, kita akan memikirkan opsi-opsi tersebut dan menimbang secara matang atau memilih resiko terkecil atau bahkan kita akan memilih pilihan dimana pilihan tersebut adalah yang paling menguntungkan.

Semisal makan, kita bisa memilih mau makan apa. Ada beberapa yang bisa kita pilih bukan? Kita pun bisa memilih untuk sehat atau sakit, kita bisa memilih untuk belajar atau tidak, kita bisa memilih untuk menjadi baik atau buruk. Lebih sederhana kita sering dihadapkan pada pilihan antara hitam atau putih. Dalam kondisi bilangan biner kita memiliki kesempatan menentukan nol atau satu (0/1).

Namun pernahkah kita dihadapkan dengan hanya satu pilihan? Kita tak bisa memilih keputusan lain selain satu pilihan tersebut. Dari semua kondisi perjalanan kehidupan selalu ada minimal dua pilihan, itu yang selalu penulis yakini. Hingga suatu ketika penulis menemukan hanya ada satu pilihan untuk dipilih. Dan pilihan itu bersifat mutlak tanpa bisa ditawar lagi, tanpa bisa kita pikirkan bahkan tanpa bisa kita pertimbangkan resiko atau keuntungan. Menurut pembaca, apakah satu pilihan mutlak itu?

Banyak dari kita terjebak dalam permasalahan hidup yang sebenarnya kita memiliki pilihan lebih dari satu, hanya saja diri sendiri tak bisa melihat itu. Talbis hati atau bisa dikatakan penutup pikiran adalah salah satu sebab kenapa opsi yang lain tak terlihat oleh mata hati/pikiran kita. Jika kita mau sedikit merenung sejenak, memikirkan problem yang sedang kita hadapi pasti selalu ada pilihan yang lebih bijak dan arif. Coba tanyakan kepada diri sendiri, apa saja solusi dari problem yang kita hadapi sekarang?

Kita bisa mencoba menulis satu demi satu opsi tentang solusi tersebut, menimbang berulang kali sebelum membuat keputusan final. Ya, sering manusia lalai dan egois tentang akibat dari keputusan yang diambil. Begitu sembrono dan tergesa-gesa membuat keputusan yang berujung penyesalan suatu saat. Entahlah, dari sekian banyak kisah perjalanan hidup pasti kita lebih sering lalai daripada mengingat sebab akibat dari keputusan yang kita ambil.

Semua keputusan pun selalu memiliki resiko, dan kita pasti akan merasakan dan menjalani resiko tersebut entah mau atau tidak. Tertutama tentang keputusan yang hanya ada satu pilihan, kita tak bisa lagi menimbang karena tidak ada pilihan lain. Dalam satu kondisi ini yang bisa kita lakukan hanyalah menerima keputusan dari satu opsi itu terjadi. Ya, hanya bisa menerima, entah kita suka atau tidak, entah kita nyaman atau tidak. Satu opsi itu akan kita jalani, kita rasakan, kita akan memaksa menerima keputusan tersebut.

Satu pilihan yang tak bisa ditawar lagi itu adalah kematian, satu kata dari milliaran kata yang menggambarkan hanya ada satu kata keputusan yaitu menerima. Dalam angka biner, kematian adalah angka nol, dan ketika angka tersebut yang ada sebagai satu-satunya pilihan maka kita tak bisa menawar lagi. Menurut pembaca, apakah kematian itu hanya berlaku tentang usia kita saja? Penulis rasa tidak, kematian begitu luas.

Bagi penulis, kematian bukan hanya tentang usia kita. Coba kita telaah lagi, pernahkah kita mengalami mati rasa? Pernahkah kita merasakan mati akan sebuah keinginan? Entah apapun keinginan tersebut, kita tak pernah lagi mengharapkan itu ada, hal tersebut tiba-tiba menghilang begitu saja dari benak hati. Bahkan kadang kita tak sadar akan kematian rasa tersebut. Dan suatu saat kita menyesal kehilangan hal tersebut.

Saat kita mati rasa, kita begitu mudah melepas hal tersebut karena sudah mati, sudah tak hidup lagi dalam hati kita. Namun kenyataan sesungguhnya kita masih diberi hidup dan napas, kelak hal yang telah mati tersebut itu akan hadir kembali dalam hidup kita. Kita akan mengalami lagi hal serupa meski hal tersebut berbeda dari sebelumnya. Lalu apakah yang akan terjadi selanjutnya? Kemungkinan hanya ada dua, penyiksaan atau kebahagiaan. Siapa yang tau kn? (frasa)