Sabtu pagi, bagaimana kabar kalian? Semoga senantiasa diberi semangat oleh Tuhan. Weekend seperti ini terasa nikmat bersenandung mesra bersama secangkir minuman favorit.  Suasana pagi selepas hujan semalam meninggalkan tetes air yang menyejukkan rasa. Tuhan Maha Asik dengan semua skenario hidup, kalian merasa begitu juga kah?

Namun ada kala persepsi kita sendiri salah arti tentang skenario-skenario yang telah terjadi, beberapa dari kita mungkin pernah merasa bahwa Tuhan tak adil tentang kehidupan kita. Padahal hal yang telah terjadi sudah pasti telah terlewati, namun tetap saja memori kita mengingat hal tersebut, dan kita merasa sangat sulit memaafkan kejadian yang telah terjadi itu.

Bukankah dalam hidup kita pernah bahkan bisa dikatakan sering terjadi sebuah kegagalan, entah itu urusan pekerjaan, bisnis, sosial, bahkan percintaan. Kata kegagalan pun bisa dikatakan dengan kata kandas, yang merupakan penjabaran dari sebuah ikhtiar yang ternyata hasil yang ada tak sesuai harapan.

Inspirasi judul artikel ini dari sebuah lagu lama berikut ;

Di setiap kegagalan dalam perjalanan hidup, setiap individu pun menghadapi dengan cara yang berbeda. Ada yang masih stuck, ada yang move on, ada yang telah berdamai dengan kegagalan yang terjadi. Pada akhirnya setiap individu akan melewati sebuah proses pembelajaran, meski waktu yang digunakan pasti juga berbeda. Dari pengalaman hidup itu kita akan belajar memahami sesuatu, berawal dari kandas dan kita pun menjadi lebih mawas. 

Yang menarik ada dua sisi yang perlu kita latih untuk menghadapi sebuah kata kandas/gagal, yang pertama adalah kontrol pikiran dan yang kedua adalah kontrol emosi (perasaan, red). Nah, di bagian ini penulis mencoba berbagi beberapa sudut pandang.

Kontrol Pikiran

Kenapa kita harus melatih mengontrol pikiran ketika menghadapi sebuah kegagalan? Secara singkat, karena pikiran kita bisa ter-distorsi (penyimpangan). penyimpangan tersebut berupa kesalahan logika dalam berpikir, serta kecenderungan berpikir yang berlebihan serta tidak rasional (kurang melihat realita). Jika pikiran kita terbiasa akan hal tersebut, maka habit kita pun akan berubah seiring waktu, dan itu akan sangat mempengaruhi kondisi emosi kita, lebih jauh ketika komponen pikiran dan emosi sudah kacau maka bisa dipastikan perilaku kita akan kacau.  

Bentuk distorsi pikiran yang dilansir dari pijarpsikologi.org kurang lebih seperti ini ;

  1. Filter Mental
    Pada filter mental, perspektif kita terlalu fokus terhadap hal negatif dan kurang melihat sisi positif. Contoh : kita benci salah satu pelajaran di sekolah, namun kita menganggap bahwa sekolah itu menyebalkan, padahal di sekolah masih banyak sisi positif.
  2. Black & White Thinking
    Penulis sering menyebut dengan istilah "pemikiran saklek", pemikiran ini ekstrem karena hanya membagi dalam dua sisi (benar salah, baik buruk, hitam putih, etc). Kenyataan yang ada, hidup sangat memiliki banyak kemungkinan. Pemikirian seperti ini akan mempersempit daya pikir kita sendiri yang akan menggiring pada depresi.
  3. Labelling
    Pengembangan dari poin kedua di atas, labelling adalah memberi cap pada siapapun. Wujud pelabelan ini macam-macam, ada dari segi tampilan atau dari salah satu sisi individu. Contoh saat kita menilai seseorang itu buruk karena memiliki style fashion tertentu. Padahal kenyataan yang ada, kemungkinan perilaku sangat berbeda. Melabeli diri sendiri juga termasuk. Inti dari poin ini adalah melabeli seseorang dari satu perspektif tanpa ada bukti yang mendukung.
  4. Overgeneralizing
    Semua cewe sama aja atau semua cowo sama aja. Tentu para pembaca pernah mendengar atau membaca hal tersebut bukan? itu adalah contoh overgeneralisasi. Dari poin ini kita perlu menanggulangi dengan selalu berpikiran netral terhadap seseorang sebelum mengenal lebih dekat.
  5. Jumping to Conclusions
    Penyimpangan ini sering terjadi, membuat kesimpulan tanpa memiliki bukti yang mendukung. Kadang kita tanpa sadar menyimpulkan bahwa si A pasti mirip dengan si B karena memiliki zodiak yang sama, lalu merasa sangat mengenal si B karena pernah berpacaran dengan si A. Konyol bukan? Kenyataan yang ada, setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda dalam perjalanan hidup. Dengan jumping to conclusion seperti itu maka secara tak langsung kita menggiring pikiran sendiri ke arah negative thinking.
  6. Mind Reading
    Pernah kah Pembaca mencoba membaca apa yang dipikirkan seseorang tanpa ada bukti yang mendukung? itu adalah contoh distorsi. Menilai seseorang bisa kita lakukan ketika seseorang telah berperilaku dan kita telah mengkonfirmasi alasan dibalik perilaku tersebut. Sangat sering terjadi pikiran kita sendiri traveling membayangkan pikiran orang lain. So, kita perlu merubah habit menerka pikiran orang dengan bertanya (konfirmasi) setelah kejadian (perilaku).
  7. Pemikiran "Harus"
    Pemikiran seperti Semua orang harus mengerti perasaanku, dong!”, Seharusnya dia lebih ramah sama orang lain,” atau Harusnya aku lebih berani berpendapat, jadi aku ga bakal dipandang buruk oleh teman-teman” dapat membuat kita tertekan atau frustrasi karena adanya pemikiran harus yang tidak realistis. Ketidakrealistisan itu terletak karena kata harus selalu melekat pada objek.
  8. Personalizing
    Pernakah kita merasa bersalah dan bertanggung jawab akan sesuatu yang dianggap buruk semisal kegagalan? Padahal tak sepenuhnya itu kesalahan kita. Ya, personalizing seperti itu.
  9. Emosional Reasoning
    Terlalu timpang ke sisi emosi, merasa tak nyaman, merasa tak mampu menghadapi sesuatu, merasa tak yakin. Padahal belum mencoba hal tersebut. Kata-kata “Saya merasa tidak bisa..”, “Saya kayaknya tidak mampu,” bisa berbahaya karena pemikiran berdasar pada emosi negatif, hal ini dapat mempengaruhi keputusan dan sikap yang diambil.
  10. Magnifying or Minimising
    Saat perspektif sesuatu tidak sesuai porsi. Kemungkinan pertama ialah pembesaran, yaitu saat kita membesarkan hal negatif yang terjadi lebih dari apa yang sebenarnya menjadi porsinya. Kemungkinan kedua ialah mengecilkan pencapaian atau hal positif. Kedua hal tersebut bisa jadi berbahaya karena kita akan cenderung berpikir secara negatif apapun yang terjadi
  11. Double Standart
    Kita memiliki standar perspektif yang berbeda untuk kita dan orang lain pada kasus perilaku yang sama. Misal kita mencuri adalah salah dan ketika orang lain mencuri dibenarkan, ataupun sebaliknya.
Setiap individu pasti memiliki distorsi (penyimpangan) dalam berpikir, namun yang perlu kita latih adalah kita berusaha menyadari kemunculan distorsi itu dalam diri kita, lalu berusaha mengubah persepsi agar lebih netral.

New habit, new life
source pict : magelangekspres.com

Otak kita termasuk organ tubuh yang tergantung oleh kebiasaan (habit). Saat kita membiasakan berpikir secara rasional, obyektif, dan adaptif, pikiran yang dihasilkan pun akan lebih positif. Begitupun jika kita terbiasa dengan cara berpikir yang kurang tepat, tidak rasional dan mengabaikan realita, kemungkinan besar apa yang dihasilkan akan negatif pula.

So, mengontrol pikiran lalu membentuk habit berpikir adalah keputusan kita masing-masing. Mau jadi lebih baik atau tidak, itu terserah pribadi kita masing-masing.

Untuk kontrol emosi nanti akan dibahas pada artikel selanjutnya.
Good luck for your weekend guys :)