Perjalanan hujan : Photo by infojakarta.net
Selasa legi, 18 Shafar 1439 H perjalanan mengais rejeki ke kota pelajar di Yogyakarta menghantarkanku menikmati sebuah cerita menarik masa lalu. Ditemani abang dan sodara lain, perjalanan dengan kuda besi menembus deras tirta kala maghrib itu sungguh menarik. Entah kenapa aku diberikan nikmat lupa "membawa alat komunikasi" kemarin. Salah satu hal yang aku ingat, peristiwa kemarin memberiku pembelajaran untuk memberikan kabar kepada orang yang aku sayang melalui cara lain.

Proses demi proses terlewat baik dengan ridhoNya, rencana untuk makan di tempat favorit ditunda karena barang bawaan terlalu banyak. Hemmmm, ketika itu perut ini meronta saja tanpa bisa memberikan energy berpikir untuk mencari alternatif dimana tempat makan lainnya.

Abang mengajakku untuk berhenti di sebuah tempat makan yang entahlah aku tak bisa melihat tulisan itu dengan jelas, aku hanya tau menu utama dari warung tersebut adalah sego wiwit (nasi wiwit). Kegemaranku mencoba makanan tak akan menolak jika hidangan tersebut masuk ke perut ini. Obrolan pun dimulai tatkala aku tergelitik dengan tampilan sego wiwit yang sederhana.

Sego Wiwit : Photo by panduanwisata.id
Aku : "Kang, biasanya ini (sego wiwit) dipakai acara apa?"

Kang Heru : "Ini jaman dulu biasa dibawa dan dibagikan saat di sawah, ketika matun (menyiangi padi). Waktu kecilku dulu sama teman-teman suka ikut ke sawah untuk mendapatkan sego wiwit."

Kang Ketut : "Iya, biar dapat double, biasa minta satu lagi untuk dipasrahkan ke leluhur dipojokan sawah. Abis itu kita makan. (Bercerita sambil tertawa kecil)"

Aku : "Hooo, berarti petani dulu sangat menghargai dewi sri ya kang?"

Kang Heru : "Iya, simbah-simbah dulu itu punya adat yang harus kita jaga seharusnya. Tapi kebanyakan anak muda sekarang juga kurang tau hal semacam ini."

Kebiasaanku mengamati makanan agar bisa mengingat komposisi aku lakukan kala itu, menarik menurutku, rajangan kacang panjang dipadu dengan sambal kelapa, tumbukan kedelai, sedikit telur rebus dan gerih, dilengkapi dengan sambal trasi. Karena menu special, ditambahkan dengan ayam kampung goreng.

Satu porsi sego wiwit dan teh dalam poci sungguh nikmat sekali, ditemani suara gemericik rintik hujan dan suara para penyanyi alam di sawah sekitar. Saat menulis artikel ini aku masih bisa mengingat rasa nikmat dari "sego wiwit", baru aku menemui di kota ini menu sederhana yang bisa mengundang selera. Begitu yummy, aku menyisakan hanya tulang ayam dan daun pisang saja. Hahaha... Tak bisa aku menceritakan detail nikmatnya, hanya saja ketika diajak lagi untuk bersantap sego wiwit, aku pasti tak akan menolak. Xexexe...

Selesai makan, obrolan kami bertiga berlanjut menceritakan asal-muasal sego wiwit, masa kecil kami masing-masing dan membahas sedikit tentang acara di Desa. Sampai tak terasa waktu sudah hampir tengah malam, kuda besi pun sudah kedinginan menunggu diluar sana. Ya, satu cerita menarik bagiku, menikmati sego wiwit. Perjalanan pulang ke rumah begitu renyah sambil bercerita kesana-kemari menemani angin malam yang dingin karena masih hujan.